repost from hive.blog/viviehardika
Pulang adalah buku ketiga karya Leila S Chudori yang sudah
kurampungkan akhir-akhir ini. Pulang juga merupakan buku Leila terakhir di rak
bukuku. Aku masih ingin mencaritahu karya lainnya. Apakah kau punya
rekomendasi?
Aku mengambil jeda panjang setelah membaca novel Leila S Chudori yang berjudul ‘Namaku Laut’. Bagiku berat sekali jika terus-menerus membaca buku dengan topik yang berat seperti buku-buku Leila. Aku membaca beberapa genre sebelum akhirnya mantap melanjutkan dongeng ala Leila S Chudori. Buku ini masih memiliki tema yang sama dengan ‘Namaku Laut’ yang mengambil masa-masa orde baru. Jika di buku ‘Namaku Laut’ mengambil setting sekitar 1965, pada buku ‘Pulang’ Leila mengambil kisah kerusuhan 1998 dengan sudut pandang orang-orang yang hidup pada masa mencekam 1965. What a briliant! Leila menggabungkan dua cerita yang sama dalam satu buku dan aku benar-benar menyukai caranya bercerita.
Meskipun begitu, buku ini lebih dekat dengan film berjudul
‘Namaku Alam’ ketimbang novel ‘Laut Bercerita’. Yup, Namaku Alam adalah spin
off dari novel ini. Menarik sekali bukan.
Buku Pulang (Home) ini diceritakan (lebih kebanyakan) dari
point of view Dimas Suryo, seorang tahanan politik yang tinggal di Paris pada
masa awal orde baru 1965 hingga berakhirnya masa tersebut pada 1998. Dari sudut
pandang Dimas Suryo ini diceritakan bagaimana dia (yang tidak tahu apa-apa)
disebut sebagai tahanan politik dan tidak bisa kembali ke Indonesia dalam kurun
waktu yang lama. Walau belum menyerah untuk berusaha pulang, Dimas Suryo
bersama tiga temannya yang bernama Nugroho, Tjai, dan Risjaf, berusaha bertahan
di negara orang dengan membangun restoran nusantara yang diberi nama Restoran
Tanah Air. Keempat orang ini menjadi pilar dari restoran tersebut, dan lambat
laun mereka pun telah membina keluarga baru di Paris.
Buku ini ditulis dengan multi POV. Ada banyak tokoh yang
disorot dan kesemua tokoh menggunakan point of View 1. Hanya segelintir bab
yang menggunakan POV 3. Bisanya ketidakkonsistenan ini akan mengganggu pembaca,
namun penulis dapat mengimplementasikan setiap point of view dengan sangat apik
sehingga buku ini tetap dapat dinikmati meski memiliki banyak tokoh. Kesemuanya
sangat sempurna. Aku harus memuji kecerdasan penulis yang diperlihatkan melalui
diksi-diksi yang dia rangkai. Aku semakin mengagumi penulis karena walaupun
novel ini adalah fiksi, beliau mampu menghidupkan setiap ketegangan dan
kemuraman yang terjadi pada masa-masa bersejarah di negeriku.
Melalui buku ini aku mengetahui sejarah yang terjadi pada
masa itu, pada masa yang buku sekolah pun tak dapat menggambarkannya dengan
jelas. Banyak kebingungan yang selalu menyelimutiku ketika hal seperti ini
dibahas dalam berbagai forum dan sosial media. Aku yang pada peristiwa pertama
belum memiliki kehidupan, sementara pada kejadian kedua berada di tempat yang
sangat jauh sehingga hanya mengetahui kerusuhan tersebut dalam televisi—yang
kemudian sejarah yang tertulis dalam buku tidak dapat membuatku mengerti—apa
yang sebenarnya terjadi, siapa mereka, dan bagaimana hal itu bisa menjadi
sejarah kelam negeri ini? Semua pertanyaan itu kudapatkan jawabannya melalui
buku ini. Membaca buku ini membuatku sadar bahwa selama ini aku tidak tahu
apa-apa tentang negara ini.
Aku menyukai bagian Dimas Suryo. Sebagian besar buku ini
diceritakan dari sudut pandang Dimas Suryo yang diselingin karakter-karakter
penting lainnya. Awalnya, aku berharap buku ini akan bercerita dari sudut
pandang banyak orang, namun ternyata salah, buku ini tentang Dimas Suryo,
keluarganya, kerabatnya, dan orang-orang yang dia cintai. Selain Dimas
Suryo—putrinya Lintang Utara dan Nara mendapatkan bagian yang hampir sama.
Mereka memiliki porsi sendiri. Dari kedua orang ini, aku juga menyukai sudut
pandang Lintang dan Nara. Dan akhirnya aku mendapatkan POV yang kutunggu, yakni
POV Alam dan Bimo Nugroho. Di buku ini, Alam dan Bimo diceritakan sudah dewasa.
Umur mereka jauh lebih dewasa dibanding Lintang, namun kemistri ketiganya yang
manis, terutama untuk Alam dan Lintang. Namun begitu aku lebih menyukai
penggambaran karakter Bimo Nugroho dibanding Alam. Alam memang lebih pintar ketimbang Bimo, namun
ada hal yang aku tidak suka dari Alam—namun setuju jika akhirnya nanti dia
berjodoh dengan Lintang. Ha ha ha…
Komentar
Posting Komentar